Jumat, 18 November 2011

Rekayasa Set Kromosom

REKAYASA SET KROMOSOM : GINOGENESIS DAN POLIPLOIDISASI

Ita Apriani
Budidaya Perairan-IPB



ABSTRAK

Rekayasa genetika dengan melakukan manipulasi set kromosom merupakan salah satu kegiataan penting dalam pembenihan ikan. Ginogenesis dan poliploidisasi adalah perlakuan yang dapat dilakukan dalam memanipulasi set kromosom. Ginogenesis adalah suatu proses penurunan sifat meternal secara total melalui perkembangan telur tanpa kontribusi sperma secara genetik untuk embrio. Ginogenesis merupakan suatu bentuk rekayasa genetik yang menonaktifkan materi genetik sperma dan merangsang diploidisasi untuk terbentuknya zigot. Sedangkan dalam perlakuan poliploidisasi, proses awal pembelahan sel pada telur yang telah dibuahi dihambat dengan menggunakan perlakuan fisik atau kimia. Salah satu tujuan utama dalam poliploidisasi adalah untuk menghasilkan individu triploid yang steril karena jumlah set kromososm yang ganjil akan menghambat pembelahan meiosis sehingga perkembangan gonad akan terhambat. Hasil praktikum ginogenesis dan poliploidisasi mati semua sehingga dapat dikatakan gagal dalam penetasan telur. Rendahnya derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur. Besar dan lamanya pemberian suhu kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan perlakuan ini. Keberhasilan poliploidisasi melalui perlakuan kejutan suhu sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan.

Kata kunci : ginogenesis, poliploidisasi, asetokarmin, kromosom.



I.          Pendahuluan
Genetik merupakan faktor internal yang mempengaruhi kegiatan budidaya. Dalam usaha budidaya ikan, rekayasa set kromosom untuk mendapatkan individu baru yang unggul dan memiliki ciri khas tertentu sangatlah penting. Hal ini terkait dengan upaya peningkatan produksi hasil budidaya yang bisa meningkatkkan keuntungan dari segi finansial. Untuk mendapatkan benih yang bagus bisa didapat dengan menggunakan sistem-sistem teknologi yang digunakan dalam menghasilkan paket teknologi genetik yakni dengan manipulasi genetik. Salah satu manipulasi genetik adalah manipulasi kromosom dengan tujuan untuk menghasilkan individu diploid homozigot dan poliploid. Manipulasi ini bisa dilakukan pada proses pembuahan dan pembentukan zigot (Sumantadinata, 1988). Cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan komoditas unggul dan sesuai kebutuhan dapat dilakukan rekayasa genetik. Salah satu rekayasa genetik yang dapat dilakukan adalah ginogenesis. Ginogenesis adalah penurunan sifat materi melalui perkembangan telur tanpa kontribusi sperma. Ginogenesis buatan adalan rekayasa genetik untuk memperoleh keturunan homozigot, yang seluruh keturunannya adalah betina. Manfaat dari ginogenesis antara lain memperoleh semua individu betina. Pada beberapa spesies tertentu, ikan betina lebih cepat tumbuh dibandingkan ikan jantan. Selain itu, ikan hias betina pada spesies tertentu memiliki warna tubuh yang lebih menarik sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Budidaya perairan merupakan kegiatan pemeliharaan. Dimana dalam pemeliharaan dibutuhkan campur tangan manusia dalam menangani penyediaan benih dan pakan, menjaga lingkungan dan kesehatan ikan dengan menggunakan sistem-sistem teknologi untuk menunjang kegiatan budidaya tersebut. Tujuan praktikum ini adalah mengetahui teknologi rekayasa set kromosom serta metode analisanya.

II.        Bahan dan Metode
2.1   Ginogenesis ikan mas (Cyprinus carpio)
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, 26-27 Februari 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan pada praktikum adalah sperma ikan mas, telur ikan mas, methylen blue, dan larutan fisiologis. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada adalah bulu ayam, lempengan kaca, akuarium, termometer, sendok, pemanas air, mangkuk, stopwatch, sinar ultraviolet, dan kertas tissue.
Perlakuan ginogenesis dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: sperma diencerkan sekitar 100 kali dengan larutan fisiologis sebelum diradiasi dengan lampu ultraviolet. Kemudian, lapisan sperma dengan kedalaman ± 0,1 mm diradiasi dengan intesitas radiasi ± 4.500 - 4.800 ergs/mm2 selama 1.5 – 2 menit dengan jarak penyinaran 15 cm. Selanjutnya, sperma dan telur dicampur merata menggunakan bulu ayam. Tunggu 3 menit dari waktu pembuahan , telur tersebut diberi kejutan panas dengan suhu 40°C selama 1.5 – 2 menit. Terakhir, telur diinkubasi dalam akuarium kaca yang telah dicampur dengan methylen blue pada suhu 28°C.

2.2   Poliploidisasi ikan nila (Oreochromis niloticus)
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 05 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan pada praktikum adalah induk  ikan nila, air panas, methylen blue, dan akuabides. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada adalah bulu ayam, saringan, akuarium, termometer, sendok, water bath, mangkuk, stopwatch, dan kertas tissue.
Perlakuan poliploidisasi ikan nila dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: telur dan sperma ikan nila dicampur, diaduk menggunakan bulu ayam, dan diletakkan ke dalam wadah pembuahan (mangkuk). Tunggu selama 4 menit dari awal pembuahan, lalu telur dipindahkan ke dalam saringan. Selanjutnya, saringan dimasukkan ke dalam water bath bersuhu ± 41°C dan dibiarkan selama 4 menit. Kemudian, dipindahkan ke akuarium pemeliharaan yang telah diberi methylen blue dan aerasi. Terakhir, pelihara telur ikan perlakuan hingga menjadi larva atau benih dan siap diamati tingkat keberhasilannya.

2.3 Pengamatan Gonad Metode Asetokarmin
Praktikum dilaksanakan pada hari Rabu,  23 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan dalam praktikum adalah ikan uji, asam asetat 45 %, karmin (Carmine), dan akuades. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah timbangan, pipet tetes, mikroskop, alat bedah, hot plate, gelas objek, gelas penutup, dan kertas saring.
Pemeriksaan gonad metode asetokarmin dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: larutkan 0.6 gram bubuk karmin dalam 100 ml asam asetat 45 % (45 ml asam asetat + 55 ml akuades). Selanjutnya, larutan tersebut didihkan selama 2-4 menit, kemudian didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan partikel kasarnya. Kemudian, pewarnaan dilakukan dengan cara memberikan beberapa tetes larutan asetokarmin pada gonad ikan yang telah dicacah dan diletakkan di atas gelas objek. Terakhir, setelah didiamkan beberapa menit, ditutup dengan gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop.
 
2.4 Preparasi Kromosom Teknik Jaringan Padat
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 Maret 2011, dan dilakukan pengamatan pada hari Rabu, 16 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang dipergunakan dalam praktikum adalah kolkisin (C22H25NO6), metanol atau ethanol (C2H5OH), kalium klorida (KCl), asam asetat glacial (CH3COOH), giemsa, dan akuades. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada praktikum adalah timbangan, mikroskop binokuler, hot plate, gelas objek, alat bedah (pinset dan pisau bedah), pipet tetes, gelas objek cekung, dan kertas tissue.
Preparasi kromosom teknik jaringan padat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: dalam perendaman dengan kolkisin dan pengawetan jaringan,  larva ikan direndam dalam larutan kolkisin 0.07 % w/v selama 6-9 jam. Selama perendaman, ikan dibiarkan berenang dalam wadah dengan aerasi yang baik. Setelah itu larva tersebut direndam dalam larutan hipotonik (KCl 0.075 M) selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan hipotonik diganti setiap 30 menit selama waktu perendaman dengan volume 20 kali lipat volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi dengan larutan Carnoy selama 60 menit. Larutan Carnoy diganti dengan yang baru setiap 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan preparat (bila diperlukan jaringan yang telah difiksasi dapat disimpan dalam refrigerator selama 1-2 minggu).
Dalam pembuatan preparat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: jaringan yang telah difiksasi diambil dengan menggunakan pinset dan disentuhkan pada kertas tissue untuk menghilangkan larutan fiksatif. Kemudian, jaringan tersebut diletakkan  di atas gelas objek cekung dan ditambahkan 3-4 tetes asam asetat 50 %. Setelah itu jaringan digerak-gerakkan dengan menggunakan pisau bedah secara hati-hati hingga terbentuk suspensi sel (larutan menjadi keruh). Kemudian, gelas objek yang akan digunakan sebagai preparat sebelumnya direndam di dalam alkohol 70 % minimal selama 2 jam. Terakhir, suspensi sel yang terbentuk diambil dengan menggunakan pipet tetes lalu diteteskan di atas gelas objek yang ditempatkan di atas hot plate dengan suhu 45-50°C, dan dihisap kembali dengan cepat setelah terbentuk lingkaran (ring) dengan diameter 1-1.5 cm. Pada setiap gelas objek idealnya dapat dibuat menjadi 3 lingkaran.
Pewarnaan preparat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: preparat yang telah berisi lingkaran (ring) diwarnai dengan larutan giemsa 10 % dengan cara memberikan larutan sebanyak 3-5 tetes lalu disebarkan hingga menutupi ring dengan menggunakan tusuk gigi, atau melalui teknik perendaman. Pewarnaan dilakukan selama 20-30 menit pada suhu kamar. Kemudian, preparat dibilas dengan menggunakan akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir, preparat diamati di bawah mikroskop.

2.5 Preparasi Nukleolus
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 Maret 2011, dan dilakukan pengamatan pada hari Rabu, 16 Maret 2011, bertempat di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum adalah  ikan uji, asam formiat, perak nitrat (AgNO3), etanol absolute, gliserin, gelatin, asam asetat glacial, asam asetat 50 %, kalium klorida (KCl), dan akuades. Sedangkan alat-alat yang dipergunakan pada praktikum kali ini terdiri dari: gelas objek cekung, gelas preparat, box staining, tusuk gigi, mikroskop, alat bedah, hot plate, dan kertas tissue.
 Preparasi nukleolus dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: dalam perendaman dengan larutan hipotonik (KCl 0.075 M) selama 60 menit pada suhu ruang. Larutan hipotonik diganti setiap 30 menit selama waktu perendaman dengan volume 20 kali lipat volume jaringan. Selanjutnya, jaringan difiksasi dengan larutan Carnoy selama 60 menit. Larutan Carnoy diganti dengan yang baru setiap 30 menit. Kemudian, proses dapat dilanjutkan atau dapat dihentikan dengan menyimpan jaringan yang telah direndam dalam larutan Carnoy tersebut dalam refrigerator dengan suhu 4°C. Jaringan tersebut dapat digunakan sampai 2-3 minggu. Kemudian, jaringan diambil dan dikeringkan dengan menyentuhkan kertas tissue agar larutan fiksatif hilang. Selanjutnya, jaringan ditempatkan dalam gelas objek cekung dan ditambahkan dengan 3-4 tetes asam asetat 50 %. Kemudian, jaringan digerak-gerakkan secara hati-hati dengan menggunakan pisau bedah hingga terbentuk suspensi sel (warna larutan menjadi keruh). Terakhir, suspensi sel tersebut dihisap dengan pipet tetes lalu diteteskan di atas gelas preparat yang telah direndam dalam alkohol absolute dan ditempatkan di atas hot plate dengan suhu 45-50°C kemudian dihisap kembali dengan cepat hingga terbentuk ring.
Pewarnaan preparat dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: sebanyak 2 tetes larutan A dan 1 tetes larutan B diteteskan di atas preparat lalu dicampur dan disebarkan ke seluruh permukaan gelas preparat dengan menggunakan tusuk gigi. Selanjutnya, preparat ditempatkan dalam box staining dengan suhu 40-45°C dibiarkan selama 20 menit atau sampai warna berubah menjadi kuning kecoklatan. Kemudian, preparat diangkat dan dibilas dengan menggunakan akuades lalu dibiarkan kering udara. Terakhir, preparat diamati di bawah mikroskop.

2.6 Analisis Data
Parameter uji adalah laju penetasan (HR) dan kelangsungan hidup (SR), serta analisis ploidisasi dengan menghitung jumlah nukleolus.

III.      Hasil
Ginogenesis adalah proses penurunan sifat material secara total melalui perkembangan gonad betina tanpa kontribusi gonad jantan secara genetik untuk menjadi embrio (Sumantadinata, 1987 dalam Wijayanti, 2002). Proses ginogenesis memiliki dua tahapan yaitu menonaktifkan bahan genetik sperma dan meninggalkan jumlah zigot yang diploid (Golovinskaya, 1972 dalam Yusrizal, 2004). Ginogenesis buatan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan mutagen untuk menonaktifkan sperma seperti sinar gamma, sinar X dan sinar ultraviolet (Dunham, 2004 dalam Yusrizal, 2004).
Ginogenesis buatan yang dilakukan saat praktikum adalah menggunakan radiasi dengan sinar Ultraviolet terhadap gonad jantan dan melakukan kejutan panas pada telur yang telah dibuahi sesaat setelah pembuahan. Penyinaran UV terhadap gonad jantan bertujuan menghilangkan sifat aktif dari kromosom sperma, kerusakan kromosom sperma tidak merusak kemampuan sperma dalam merangsang pertumbuhan embrio (Cherfas, 1981). Kejutan panas dilakukan dengan merendam telur-telur yang telah dibuahi pada air panas bersuhu 41oC ± 1oC sesaat setelah pembuahan (Sumantadinata, 1987). Tujuan dari kejutan panas tersebut adalah mengembalikan polar body II.
Hasil praktikum ginogenesis mati semua sehingga dapat dikatakan gagal dalam penetasan telur. Rendahnya derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses ginogenesis. Besar dan lamanya pemberian suhu kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan perlakuan ini. Keberhasilan ginogenesis melalui perlakuan kejutan suhu sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan.
Pengelolaan budidaya ikan perlu memperhatikan efisiensi dan produktivitas usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas induk maupun benih ikan. Saat ini disinyalir telah terjadi penurunan kualitas induk maupun benih ikan yang dipelihara oleh petani ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas (produksi) dan perbaikan serta peningkatan kualitas genetik ikan mas seperti program seleksi, manipulasi jenis kelamin melalui perlakuan hormonal maupun manipulasi kromosom.
Manipulasi kromosom dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel. Pada dasarnya adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, proses-proses buatan dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983). Salah satu metode manipulasi kromosom adalah poliploidisasi.
Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit. Proses poliploidisasi pada ikan yang sering dilakukan ada 2 macam yaitu pembentukan individu triploid dan pembentukan individu tetraploid. Individu triploid di dalam tubuhnya memiliki 3 set kromosom, sementara individu tetraploid di dalam tubuhnya memiliki 4 set kromosom (Thorgaard, 1983).

Tabel 1. Hatching rate (HR) hasil poliploidisasi ikan nila (O.  niloticus)
Perlakuan
No
Nt
HR (%)
SR (%)
4n 60’
150
0
0
0
4n 65’
150
10
6.67
0
4n 70’
150
116
77.33
0
4n 75’
150
7
4.67
0
4n 80’
150
12
8
0
4n 85’
150
0
0
0
4n 90’
150
0
0
0
4n 95’
150
0
0
0
4n 65’
150
16
10.67
0
4n 65’ dan 80’
150
0
0
0
Keterangan :
No          = jumlah telur awal
Nt           = jumlah telur akhir
HR          = derajat penetasan

Teknik-teknik manipulasi kromosom telah diterangkan oleh para peneliti sejak tahun 1970-an dan teknik ini potensial untuk sex control dan manipulasi genome (Thorgaard, 1983). Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Carman et al, 1992).
Thorgaard (1983) menyatakan bahwa pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal. Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada ikan (Don and Avtalion, 1986). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan untuk menghasilkan poliploidisasi pada ikan juga mempengaruhi laju penetasan, abnormalitas, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama kejutan (Don and Avtalion, 1986), namun  parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988).
Gagalnya proses pembuahan pada telur juga terjadi akibat kondisi dari lingkungan tempat penetasan itu sendiri yakni tingkat aerasi yang kurang serta dibiarkannya telur-telur tersebut bergerombol di satu titik pada permukaan lempeng kaca. Seperti yang kita tahu bahwa sifat dari telur ikan adalah mudah menempel antar sesama telur, sehingga proses pembuahan akan terhambat bahkan mati akibat kurangnya pasokan oksigen pada masing-masing telur tersebut (Woynarovich and Horvath, 1980). Selain itu suhu lingkungan juga mempengaruhi tingkat keberhasilan penetasan telur (Effendie,1997) sementara itu suhu hangat yang diperlukan bagi telur tersebut juga sangat minim sekali, karena heater yang digunakan hanya ada satu untuk satu akuarium besar yang berisi sekitar 6-7 akuarium kecil. Untuk diketahui, intensitas dan lama waktu penyinaran sinar UV selain dapat menghilangkan material genetik pada sperma, juga dapat menyebabkan kematian pada sperma.
Menurut Zairin (2002) ada dua metode identifikasi kelamin, yaitu metode morfologi dan metode asetokarmin.  Identifikasi kelamin berdasarkan morfologi adalah cara yang hemat karena tidak perlu membunuh ikan uji. Cara ini ideal untuk ikan-ikan yang memiliki dimorfisme seksual yang jelas antara jantan dengan betinanya. Untuk ikan yang tidak memiliki dimorfisme seksual, identifikasi kelamin dapat juga dilakukan dengan melihat ciri-ciri khusus yang ada pada tubuh ikan (Zairin, 2002).
Hasil praktikum poliploidisasi mati semua sehingga dapat dikatakan gagal dalam penetasan telur. Rendahnya derajat penetasan telur dapat diakibatkan oleh pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses ginogenesis. Besar dan lamanya pemberian suhu kejutan merupakan faktor penentu keberhasilan perlakuan ini. Keberhasilan ginogenesis melalui perlakuan kejutan suhu sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan.
Untuk menganalisa keberhasilan proses ginogenesis dan poliploidisasi dapat dilakukan dengan preparasi kromososm teknik jaringan padat, preparasi nukleolus dan metode asetokarmin.
Asetokarmin merupakan salah satu modifikasi teknik pewarnaan yang peling populer terutama dalam bidang sitogenetika untuk penelaahan kromosom (Gunarso, 1989). Metode pemeriksaan gonad yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode asetokarmin. Pewarna asetokarmin terdiri dari bubuk karmin dan asam asetat 45%. Karmin merupakan zat warna yang terbuat dari eksrak kochinil yang merupakan hasil gerusan serangga Coccus cacti yang dikeringkan (Gunarso, 1989). Identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya dilakukan untuk tujuan penelitian atau mencari data awal (Zairin, 2002).
Berdasarkan data hasil praktikum  jumlah jantan nila besar adalah 4 dan betina nila besar berjumlah 5 dengan total sampel berjumlah 11 ikan. Sedangkan jumlah jantan nila kecil adalah 17 dan betina nila kecil berjumlah 6 dengan total sampel berjumlah 22 ikan. Dan jumlah jantan ikan mas 52 dan jumlah ikan mas betina tidak ada sehingga jumlah total sampel ikan mas 25 ekor. Untuk data presentasenya, jantan nila besar 56 % dan betina nila besar 44%. Ikan  jantan nila kecil 74 % dan betina kecil 26%. Dan ikan mas 100% jantan. Menurut Zairin (2002) untuk budidaya pembesaran ikan monoseks kelimpahan jenis kelamin yang digunakan adalah 100% betina atau 100% jantan.
Metoda asetokarmin memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yakni selain murah, mudah, cepat pengerjaannya, metode ini juga tidak memerlukan alat atau bahan yang sulit didapat. Sedangkan untuk kekurangan yakni metode ini harus mematikan dulu ikan yang akan diperiksa gonadnya dan metode ini mempunyai kendala yaitu tingkat kesulitan dalam menemukan gonad ikan muda yang relatif kecil (berbentuk seperti benang) sehingga sulit untuk diambil (Zairin, 2002).
Pada mikroskop,  sel sperma akan tampak seperti titik-titik kecil yang berjumlah banyak sedangkan sel telur akan terlihat seperti  bulatan besar  dengan adanya  inti di bagian tengah. Guerrero dan Shelton (1974) dalam Nursyirwan (1989)  menyatakan bahwa Larutan asetokarmin berfungsi untuk mempermudah identifikasi. Menurut Zairin (2002) identifikasi gonad dengan larutan asetokarmin dibuat hanya dilakukan untuk tujuan penelitian atau mencari data awal. Ada dua metode identifikasi kelamin, yaitu metode morfologi dan metode asetokarmin. Identifikasi kelamin berdasarkan morfologi adalah cara yang digunakan pada ikkan yang sudah terdapat diferensiasi antara jantan dan betina sehingga tidak perlu membunuh ikan uji. Untuk ikan yang tidak memiliki dimorfisme seksual, identifikasi kelamin dapat juga dilakukan dengan melihat ciri-ciri khusus yang ada pada tubuh ikan (Zairin, 2002).
Karakteristik gonad jantan dan betina sangat berbeda. Gonad jantan memiliki ukuran kecil, berwarna putih susu, dan berpasangan. Gonad betina agak mirip gonad jantan, tetapi berwarna agak kekuningan dan diselubungi lemak. Bentuknya relatif hampir sama uintuk semua jenis ikan. Kadang-kadang di dalam gonad yang sama dapat dijumpai sekaligus bakal testis dan bakal ovari. Dengan pewarnaan asetokarmin, sel bakal sperma tampak berupa titik-titik kecil berjunlah banyak. Sel bakal telur tampak berbentuk bulatan besar dan bagian inti berada ditengah dengan warna lebih pucat dikelilingi sitoplasma yang berwarna merah.
Dalam praktikum ini kendala yang dialami adalah tingkat kesulitan dalam menemukan gonad ikan muda, karena ganad ikan muda relatif kecil sehingga sulit untuk diambil. Kelemahan metode asetokarmin ini yaitu ikan yang diambil gonadnya harus dimatikan (Zairin, 2002).










            Perlakuan kolkisin dilakukan untuk memberhentikan pembelahan sampai tahap metafase, karena pada tahap ini kromosom berkontraksi maksimum dan nampak paling jelas. Selanjutnya larutan hipotonik (KCl) dapat memperbesar sel dan membuat letak kromosom menyebar lalu difiksasi dengan larutan Carnoy untuk mempertahankan bentuk dan keutuhan kromosom. Kemudian dilakukan pewarnaan sehingga kromosom mudah diamati di bawah mikroskop. Jumlah kromosom dapat dilihat dengan baik dengan bantuan kolkisin, larutan hipotonik, fiksasi dan pewarnaan.
            Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Levan  and Sandberg (1964) bahwasannya tujuan dari preparasi adalah menentukan ploidi dari setiap spesies. Pada saat praktikum banyak kromosom tidak dapat diidentifikasi jumlah kromosomnya karena bentuk kromosom yang menumpuk. Hal ini terjadi karena pewarnaan giemsha tidak dilakukan dengan meneteskannya melainkan direndam dengan larutan giemsha tersebut.
Pada hasil pengamatan jumlah kromosom ikan nila diperoleh modus jumlah kromosomnya adalah tidak ada karena semua data yang diperoleh dari nila tidak dapat diamati sehingga modusnya tidak dapat ditentukan. Mengacu Levan  and Sandberg (1964)  pada bahwasannya jumlah kromosom 44 pada nila adalah diploid. Menurut Carman (1992) dalam Setiadi (1993), penentuan tingkat ploidi secara langsung dengan penghitungan kromosom (preparat dibuat secara langsung atau melalui kultur jaringan) dapat memberikan hasil yang akurat.
Perbedaan hasil pengamatan dengan literatur mengenai jumlah kromosom pada ikan nila juga dapat disebabkan oleh perbedaan genetik. Genetik yang digunakan pada saat praktikum dan pengamatan oleh penulis literatur. Di samping itu dapat pula disebabkan oleh faktor paralaks ketika menghitung jumlah kromosom ikan di bawah mikroskop.
Metode analisa lainnya adalah preparasi nukleolus. Nukleolus merupakan anak inti yang terdapat di dalam inti sel (Yamin, 1991). Sedangkan menurut Schwarzacher and Wacthler (1983), nukleoulus merupakan struktur yang nampak pada interfase dan muncul akibat adanya aksi gen NOR (Nucleolar Organizer Region), yaitu daerah khusus pada kromosom yang menyebabkan formasi nukleolus pada interfase.
Menurut Wilson and Morrison (1961), nukleolus dibentuk selama telofase. Begitu juga menurut Dnyansagar (1986), bahwa secara normal nukleolus menghilang pada akhir profase dan di bentuk kembali pada fase telofase. Nukleolus dibentuk disekitar NOR (De Robertis, 1981). Menurut Wilson and Morrison (1961), nukleolus berbentuk bulat dan bersifat basofil , karena mengandung subunit  ribososm (rRNA) yang kemudian dilepas dalam sitoplasma yang mengalami perubahan- perubahan sebelum bergabung menjadi ribosom, yang selanjutnya kan keluar dari nukleolus melewati pori-pori selubung inti.
Menurut Smith and Wood (1992), nukleolus terdiri dari tiga daerah yaitu: pusat serat (fibril centres), serat padat (dense fibrilar) dan granula. Pusat serat mengandung gen-gen rRNA dalam membentuk sebagian kromatin padat. Pusat serat ini dikelilingi komponen serat padat dan dikelilingi oleh granula yang mengandung partikel ribosom. Nukleolus mempunyai dua fungsi yaitu mengatur pembelahan sel dan mensintesa ribosom bersama bersama asam nukleatnya yang disebut ARN-ribososm (Yatim,1991).
Penghitungan nukleolus dapat digunakan untuk mengidentifikasi ploidi secara tidak langsung (Carman et al,1992). Menurut Philips et al (1986) metode perhitungan nukleolus merupakan metode yang mudah dan relatif murah serta berpeluang besar untuk diterapkan pada berbagai spesies ikan, karena dengan metode ini jaringan apapun dapat digunakan dan jaringan yang diperlukan sedikit. Carman et al (1992) mengemukakan bahwa penentuan  ploidi beberapa sempel dapat dilihat hanya dalam waktu singkat dan sampel dapat diamati tampa membunuh ikan.
Menurut Howell and Black (1980), metode penghitungan nukleolus dapat menggunakan metode pembercakan perak nitrat (silver staining). Metode ini relatif mudah , hemat waktu dan dapat digunakan secara praktis. Perak nitrat mewarnai komponen-komponen protein pada nukleolus. Dengan demikian secara langsung ada hubungannya antara kemampuan perak nitrat dengan aktifnya transkripsi gen-gen ribosom (Hubbel, 1985).
Jumlah nukleolus yang terdeteksi dengan pembercakan perak nitrat pada saat interfase sel inti akan berwarna kuning dengan nukleolus berwarna hitam. Sedangkan pada fase metafase kromosom berwarna kuning dengan NOR berwarna hitam (Philips et al, 1986). Untuk menentukan jumlah nukleolus ditentukan dengan menentukan jumlah maksimal nukleoli per sel. Menurut Wilson and Morrison (1961), jumlah nukleoli ini bervariasi atau tetap tergantung dari spesiesnya dan tergantung pada jumlah kromosom yang mempunyai NOR (Becker, 1986).
Menurut Wilson and Morrison (1961) jumlah nukleolus bervariasi atau tetap tergantung pada spesies dan jumlah kromosom yang mempunyai NOR. Phillips et al (1986) menyatakan individu haploid mempunyai 1nukleolus pada setiap sel, individu diploid mempunyai 1 atau 2 nukleolus tiap sel dan triploid mempunyai 1,2 atau 3  nukleolus tiap selnya.  Menurut Carman et al, 1992) keragaman pada jumlah maksimal nukleolus kemungkinan akibat terjadinya penggabungan antar beberapa nukleoli atau pembelahan nukleoli karena adanya beberapa proses fisiologis selama siklus hidup sel.
Tingkat keberhasilan yang rendah terutama disebabkan oleh pewarnaan perak nitrat yang tidak berhasil meresap ke dalam sel dan mewarnai nukleoplasma serta nukleolus. Hal ini terindikasi dari preparat yang tampak transparan. Menurut Gold (1984) dalam Setiadi (1995) kegagalan pewarnaan terjadi karena sifat pewarna perak nitrat adalah hanya mewarnai nucleolar organizer region (NOR) yang sedang aktif melakukan sintesis ribosom sedangkan pada saat pembuatan preparat tidak semua NOR berada pada keadaan aktif.

IV.      KESIMPULAN
Dari percobaan yang dilakukan dapat diketahui bahwa banyak faktor yang menentukan keberhasilan dalam ginogenesis dan poliploidi, antara lain lama penyinaran UV, intensitas cahaya yang diberikan, suhu kejutan dan kualitas media inkubasi. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya serta metode analisa yang dapat dilakukan untuk membuktikannya pada ginogenesis dan poliploidisasi adalah pengamatan gonad dengan metode asetokarmin, preparasi kromosom teknik jaringan padat, dan preparasi nukleolus.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, WN. 1986. The World of Cell The Benjamin Commings Publishers. Co. Inc. California.
Carman, O. 1992. Chromosome Set Manipulation in Some-Warm water Fish. A Dissertation Submitted to The Tokyo University of Fisheries. In Partial Full Fillment of  The Requirement for The Degree of Doctor of Fisheries Science. 131 p.
Cherfas, NB. 1981. Ginogenesis In Fish, In V.S. Kirpichkov (Edward). Genetic Bases Of Fish Selection. Springer-Verlay. New York. P:255-273
De Robertis, EDP and EMF De Robertis. 1981. Essentials of Cell and Molecular Biology. Hult Saunders Japan. p: 214-346.
Dnyansagar, VR. 1986. Cytology and Genetics. Tata Mc Graw. Hill Publ. Co. limited. New delhi. p: 107-120.
Don J, dan Avtalion RR, 1986. The Induction of Triploidy in Oreochromis aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186–192.
Effendie, MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 50–71.
Gunarso, Wisnu. 1989. Mikroteknik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.
Howell, WM and Black, D. 1980. Controlled Silver Staining  of Nucleolus Organizer Regions with Protective Colloidal Developer. Experientia 36, B. Verlag Basel.
Hubbel, H. R. 1985. Silver Staining as an Indicator of Active Ribosomal Genes. Stain Technollogy, 60 (5) : 285-294.
Levan, AKF and AA. Sandberg. 1964. Nomenclature for Centromeric position on Chromosome. Hereditas. 52: 201-220.
Nursyirwan, A. 1989. Pengaruh Lama Pemberian Hormon Metil Testosteron Terhadap Perubahan Jenis Kelamin Ikan Mas (Cyprinus carpio) hasil Ginogenesis [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor.
Pandian TJ, dan Varadaraj K, 1988. Techniques to Produce 100% Male Tilapia. NAGA, The ICLARM Quarterly, 13(34): 3–5.
Phillips RB, KD Zajicek, PE Ihssen and D Johnson. 1986. Application of Silver Staining to The Identification of Triploid Fish Cells. Aquaculture, 54:313-319.
Purdom, CE. 1983. Genetics enginering by manipulation of chromosomes. Aquaculturee. 33:287-300.
Rustidja. 1991. Artificial Induced Breeding and Triploidy in The Asian Cat Fish (Clarias batrachus Linn.) [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. IPB.
Schwarzacher, HG. and F. Wachtler. 1983. Nuleolar Organizer Region and Nuleolus. Hum. Gen., 62 : 87-99.
Setiadi, Y. 1993. Pengaruh Waktu awal kejutan panas terhadap keberhasilan triploidisasi ikan lele local (Clarias btracus L).  [Skripsi]. Departemen Budidaya perairan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor
Smith, LT and Wood. 1992.Molecular and cell biochemistry. Cell Biology 1st ed. Chapman ang Hall. 87-89p.
Sumantadinata, K. 1987. Artificial Gynogenesis Of Common Carp (Cyprinus Carpio L.) By Using Heat Shock For Diploidization Of Fertilized Eggs. Buletin Perikanan,
Sumantadinata, K. 1988. Aplikasi Bioteknologi dalam Pembenihan. Buletin Perikanan, (IV); 28-41.
Thorgaard, GH and G.A.E. Gall. 1979. Adult triploid in Rainbow traout family . Genetics, 93:961-973.
Wijayanti, DR. 2002. Pengaruh Aromatase Inhibitor Terhadap nisbah ikan nilem (Osteochilus haselti C.V) hasil Ginogenesis. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Wilson, GB.  and  JH Morrison. 1961. Cytology. Reinhold Publisher corp. Chapman and Hall, Ltd. London 297 p.
Woynarovich, E. and L. Hovarth. 1980. The Artificial Propagation or Warm-Water Finfishes. A Manual for Extention. FAO. Tech. Paper, p: 15-97.
Yatim, W. 1991. Genetika. Bandung: tarsito.
Yusrizal. 2004. Ginogenesis Ikan Sumatra (Puntius tetrazona Bleeker) Dengan Umur Zigot Yang Berbeda Pada Saat Kejutan Panas. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Zairin, Jr M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Jakarta: Penebar Swadaya.

6 komentar: