Selasa, 15 November 2011

Kultur dan Identifikasi Cendawan


KULTUR DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN
Oleh:
Ita Apriani


1.1              Latar Belakang
Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah memunculkan pemasalahan berupa penurunan daya dukung kolam atau tambak bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbulkan adalah terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian yang besar. Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius.
Timbunan bahan organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang, khususnya algae bloom yang menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan. Penggunaan desinfektan dan antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran.
Perlu diketahui bahwa antibiotik tidak hanya spesifik bagi pengendalian serangan penyakit bakteri saja, melainkan juga beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh fungi dan pengetahuan tentang fungi sangat diperlukan. Khamir juga mempunyai manfaat yang menguntungkan misalnya, berperan dalam mengatasi masalah penyakit sebagai penghasil antibiotik dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit, dalam bidang pakan berperan dalam fermentasi pakan yaitu untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan ikan, sedangkan dalam proses bioremediasi  berperan untuk mengatasi masalah lingkungan perairan. Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui morfologi fungi sehingga dapat dimanfaatkan dalam perkembangan kegiatan budidaya perikanan selanjutnya

1.2              Tujuan
Mempelajari teknik kultur dan identifikasi cendawan 
II.                METODOLOGI

2.1              Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2011 pukul 07.00 – 10.00 WIB dan dilakukan kultur pada hari kamis, tanggal 13 Oktober 2011 pukul 13.00 -14.00 WIB serta dilakuakan pengamatan pada hari Senin, tanggal 17 Oktober 2011 pukul 10.00 – 11.00 WIB di laboratorium lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2              Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum adalah pinset, Bunsen, korek api, botol semprot alkohol, pisau bedah. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah air kolam steril, biakan candawan dari telur ikan, alkohol 90%, alkohol 70%, media GYA, dan media GYA+2% skim milk.

2.3              Prosedur Kerja
Sebelum melakukan kultur sebaiknya lingkungan disterilkan terlebih dahulu dengan menyemprotkan alkohol 70% kemudian dilap dengan tisu. Untuk memulai kultur cendawan petama cendawan yang ada di telur ikan dicuci dalam air kolam steril dengan menggunakan pinset sebagai penjepit. Kemudian cawan petri tang berisi media GYA disiapkan dan bunsen dinyalakan, lalu secara aseptik biakan cendawan dipindahkan kedalam cawan petri tersebut, untuk mengurangi jumlah air yang ikut masuk kedalam media, digunakan kertas cakram untuk menguranginya sampai dirasa cukup dan tidak ada lagi air yang terbawa. Setelah itu, tutup rapat cawan petri dan biakan cendawan dan diinkubasi pada suhu ruang selama ± 3 hari.
Setelah  ± 3 hari cendawan diamati dan dihitung diameter pertumbuhannya. Kemudian cendawan dibiakan kembali dalam bentuk potongan-potongan balok pada media GYA+ 2% skim milk untuk menegtahui apakan cendawan dapat mendegradasi protein dalam media. Hal pertama yang dilakukan adalah cendawan hasil kultur sebelumnya di potong berbentuk balok, kemudian secara aseptik balokan yang berisi cendawan di tanam dalam media GYA + 2% skim milk dan diletakkan secara terbalik. Kemudian ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu ruang selama  ± 3 hari.
Setelah  ± 3 hari biakan diamati kembali apakah membentuk zona bening pada pertumbuhannnya. Jika terbentuk maka di ukur diameter zona bening tersebut, hal ini menendakan cendawan telah mendegradasi senyawa protein yang terdapat dalam media.
III.             HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1              Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Data diameter pertumbuhan cendawan
Kelompok
Diamter (cm)
Keterangan
Kontam/Tidak
1
3.83
-
2
3.38
-
3
Tumbuh
Terkontaminan
4
3.1
-
5
3.53
Kontaminan
6
4
-
7
5.97
-
8
4,47
-
9
3.43
-
10
2.13
-
11
3.77
-
12
3.11
-
Berdasarkan tabel 1 di atas, diameter pertumbuhan cendawan yang paling besar adalah kelompok 7 yaitu 5,97 cm dan diameter pertumbuhan cendawan yang paling kecil adalah kelompok 10 yaitu 2,13 cm. lain halnya dengan kelompok 3, cendawan tumbuh namun tidak membentuk diameter pertumbuhan dan terdapat kontaminan, sedangkan kelompok 5 cendawan tumbuh dengan diameter 3,53 cm namun juga terkontaminan dengan organisme lain.
Tabel 2. Data diameter zona bening hasil degradasi enzim protease
Kelompok
Diamter (cm)
Keterangan
Kontam/Tidak
1
-
Kontaminan
2
-
Kontaminan
3
-
-
4
-
Kontaminan
5
-
Kontaminan
6
-
Kontaminan
7
-
-
8
-
-
9
-
-
10
0.55
-
11
-
Kontaminan
12
-
-
Berdasarkan tabel 2 di atas, cendawan yang membentuk zona bening hasil degradasi enzim protease adalah kelompok 10 dengan diameter 0,55 cm. sedangkan yang lain terdapat kontaminan dan tunbuh denagn baik namun tidak membentuk zona bening.
3.2              Pembahasan
Sebelum benar-benar dilakukan proses kultur mikroorganisme, pertama kali kita harus mempertimbangkan bagaimana agar tidak tejadi kontaminasi. Mikroorganisme ada dimana-mana, karena ukurannya yang sangat kecil maka mudah lepas dalam udara. Maka dari itu, medium kultur harus disterilkan secepatnya setelah preparasi selama pemindahan mikroorganisme. Hal ini untuk pencegahan sampai tahap selanjutnya, demikian juga benda yang akan kontak lansung dengan media harus terjaga kesterilanya (Waluyo 2005).
Tujuan utama pembuatan kultur cendawan adalah mempertahankan daya tumbuh/viabilitasnya dalam jangka waktu tertentu tanpa mengalami perubahan secara morfologi, fisiologi maupun secara genetik. Dengan demikian, kultur harus dijaga agar tetap hidup selama dilakukan kajian, bahkan kadang-kadang harus dipertahankan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Mempertahankan biakan dalam waktu lama menjadi penting terutama jika biakan tersebut berasal dari type spesimen atau type material serta sudah terdaftar di dalam publikasi. Jika tidak tersedia kultur yang sudah diidentifikasi maka sangat mustahil untuk melakukan perbandingan taksonomi. Perbandingan taksonomi diperlukan dalam penentuan klasifikasi dan pemberian nama bagi takson yang baru. Menurut Pusat Karantina Tumbuhan Badan Karantina Pertanian (2009) Berikut ini beberapa contoh metode dalam mempertahankan viabilitas kultur.
Teknik yang bisa digunakan untuk menumbuhkan cendawan adalah dengan menggunakan medium agar. Biakan biasanya ditumbuhkan di dalam botol McCartney volume 20 ml. Sebaiknya digunakan botol yang memiliki leher agak lebar sehingga akan memudahkan pada saat dilakukan pembiakan ulang (sub culturing). Medium tumbuh seperti PDA sangat sesuai untuk berbagai jenis cendawan. Beberapa jenis cendawan tertentu mungkin menghendaki medium khusus untuk pertumbuhannya. Medium tumbuh dipersiapkan dengan cara menuang campuran bahan ke dalam botol sebanyak kira-kira setengah bagian volume botol, selanjutnya disterilisasi. Medium kemudian didinginkan dan botol diletakkan pada posisi miring sehingga pada saat membeku terbentuk permukaan medium yang lebih luas. Pada saat inokulasi cendawan, inokulum diletakkan pada permukaan medium, yaitu di bagian sudut bawah. Setelah diinkubasi biakan harus disimpan didalam tempat yang kondisinya dingin dan bersih. Biakan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 5-8ºC. Cendawan yang sensitif terhadap suhu dingin dapat disimpan pada suhu 15 ºC. Biakan sebaiknya diperiksa secara regular karena medium agar akan cepat kering jika disimpan di tempat yang udaranya kering. Kewaspadaan juga diperlukan dalam mempertahankan biakan cendawan, karena beberapa jenis Arthropoda seperti tungau seringkali masuk ke dalam botol dan merusak biakan. Oleh sebab itu, sebaiknya botol ditutup rapat dengan plastik film. Sebaiknya viabilitas biakan dipertahankan dengan menumbuhkan ulang (re-culturing) pada medium yang baru setiap enam bulan. Namun perlu diingat bahwa re-culturing bisa mempercepat terjadinya perubahan morfologi, menurunkan patogenisitas dan mengurangi kemampuan menghasilkan spora.
Selain media agar teknik kultur lain yang dapat dilakukan adalah menyimpan didalam air. Potongan agar blok yang berisi biakan cendawan (berumur satu minggu) dimasukan ke dalam Wheaton vial 5 ml atau botol McCartney 20 ml kemudian direndam dengan air destilasi steril. Selanjutnya botol ditutup rapat dan disimpan pada suhu ruangan. Metode ini dapat digunakan untuk menyimpan biakan cendawan hingga beberapa tahun. Cara penyimpanan seperti ini sangat sesuai untuk cendawan Pythium spp. Dan Phytophthora spp.
Teknik ini juga dapat digunakan yaitu menyimpan pada kondisi kering-beku. Spesimen kering-beku diperoleh melalui metode sublimasi, yaitu membuang kandungan air pada spesimen beku. Pada proses ini cairan beku di dalam biakan dirubah menjadi gas tanpa melalui fase cair. Proses ini berlangsung pada tekanan udara rendah. Gelas ampul atau vial yang berisi spesimen kering selanjutnya ditutup rapat. Metode ini sangat sesuai untuk cendawan-cendawan yang manghasilkan spora. Dengan cara ini, viabilitas dapat dijaga hingga 10 tahun atau lebih. Salah satu keunggulan cara ini adalah biakan tidak perlu disimpan di dalam lemari pendingin setelah diproses, cukup disimpan pada suhu ruangan. Kelemahannya adalah dibutuhkan peralatan yang mahal dan tenaga berpengalaman. Perlu diingat bahwa setelah proses sublimasi selesai dilakukan, sebaiknya setiap biakan harus diuji viabilitasnya, karena tidak semua jenis cendawan dapat bertahan hidup melalui proses demikian.
Viabilitas bakteri dan cendawan dapat dipertahankan dengan menyimpannya di dalam silica gel. Disyaratkan untuk menggunakan silica gel murni/tanpa bahan tambahan. Viabilitas dapat dipertahankan dengan cara menuang larutan bakteri atau sebanyak 5% (berat/volume) campuran spora di dalam skim milk ke atas silica gel steril di dalam botol. Setelah larutan spora cendawan dituangkan maka botol ditutup rapat kemudian disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4-6 ºC. Dengan cara tersebut viabilitas dapat bertahan hingga 11 tahun. Jika ingin mengetahui daya tumbuh cendawan, sebarkan sejumlah kecil silica gel di atas medium agar (yang sesuai) untuk menumbuhkan cendawan bersangkutan.
Cendawan ada yang hidup sebagai parasit, ada pula yang bersifat saprofit. Selain itu, ada pula yang bersimbiosis dengan organism lain secara mutualisme. Sebagai parasit, cendawan mengambil makanannya langsung dari inangnya. Cendawan jenis ini memiliki haustorium, yaitu hifa khusus untuk menyerap makanan langsung dari inangnya. Sebagai saprofit, cendawan mengambil makanan dari sisa-sisa organism lain yang telah mati (Admin 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, diameter pertumbuhan cendawan yang paling besar adalah kelompok 7 yaitu 5,97 cm, dan diameter pertumbuhan cendawan yang paling kecil adalah kelompok 10 yaitu 2,13 cm hal ini berarti cendawan yang hidup dalam media dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat dalam media untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Lain halnya dengan kelompok 3, cendawan tumbuh namun tidak membentuk diameter dan terdapat kontaminan, dan kelompok 5 cendawan tumbuh dengan diameter 3,53 cm dan terkontaminan, hal ini berarti cendawan yang tumbuh tersebut dapat memanfaatkan nutrisi yang ada dalam media namun tidak mampu berkembang biak dengan baik sehingga tidak dapat membentuk diameter pertumbuhan, selain itu diduga terjadi persaingan nutrisi antara cendawan dan organism kontaminan.
Berdasarkan tabel 2 cendawan yang membentuk zona bening hasil degradasi enzim protease adalah kelompok 10 dengan diameter 0,55 cm. sedangkan yang lain terdapat kontaminan dan tumbuh dengan baik namun tidak membentuk zona bening. Hal ini berarti cendawan yang tumbuh pada media kelompok 10 memiliki enzim pretease sehingga dapat mendegradasi senyawa protein yang terdapat dalam media untuk menunjang kelangsungan hidupnya.
Cendawan saprofit menghasilkan bermacam-macam enzim ekstraseluler yang bisa mendegradasi kebanyakan makromolekul alam. Kebanyakan cendawan saprofit berperan sebagai dekomposer yang penting dalam siklus biogeokimia. Cendawan berperan sebagai organisme awal yang mendegradasi kayu. Hal ini disebabkan, dengan eksepsi dari sedikit bakteri hanya cendawan yang mampu memecah lignin. Lignin mengisi ± 25% dari materia yang terdapat di hutan. Selain itu cendawan juga mencerna material hewan mati. Selain itu, cendawan khususnya genus Penicillium dan Aspergillus dapat memproduksi enzim glukosa aksidase. Enzim ini banyak digunakan dalam industri pangan dan analisis klinis untuk menentukan kadar glukosa darah (Aryantha 2003).
Duddingtonia flagrans adalah termasuk golongan kapang sedangkan Saccharomyces cerevisiae adalah khamir. Kemampuan berkembang biak S. cerevisiae lebih besar dan cepat dibandingkan dengan kapang D. flagrans. Demikian pula dengan produksi enzim-enzim yang dihasilkan oleh S. cerevisiae  lebih banyak dibandingkan produksi D. flagrans selain kitinase dan protease yaitu katalase, glukanse, glukosidase, glukoamilase, fosfolipase, namun kapang D. flagrans  lebih mampu bertahan hidup di alam karena mempunyai klamidospora sehingga dapat bertahan sampai berbulan-bulan dari kekeringan (Ahmad 2007).
Budidaya ikan gurami  (Oshpronemus gouramy) telah dikembangkan secara intensif, yaitu dengan tingginya padat penebaran dalam volume terbatas. Apabila tidak dikontrol secara benar akan menimbulkan resiko berupa munculnya penyakit, yang salah satunya disebabkan oleh cendawan. Berdasarkan hasil penelitian Sari (2003) melalui idetifikasi ditemukan jenis cendawan, yaitu Saprolegnia sp. yang diisolasi dari telur gurami.

IV.             KESIMPULAN DAN SARAN

4.1              Kesimpulan
            Cendawan ada yang hidup sebagai parasit, ada pula yang bersifat saprofit. Selain itu, ada pula yang bersimbiosis dengan organism lain secara mutualisme. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya cendawan memerlukan enzim untuk memecah senyawa-senyawa penting untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti protein, lemak, karbohidrat, dll. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa cendawan pada isolat kelompok 10 memiliki enzim protease sehingga dapat mendegradasi protein dan membentuk zona bening dengan diameter 0,55 cm.

4.2              Saran
            Praktikum selanjutnya diharapkan dapat menggunakan  isolat cendawan dari sumber lain seperti cendawan yang menyerang sirip, tubuh, dan operculum ikan.


DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2008. Mengenal jamur (fungi). Erlangga : Jakarta.

Ahmad RZ. 2007. Aktivitas enzim kitinase dan protease pada cendawan nematofagus ( Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae ) Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007.

Aryantha. 2003. Eksplorasi dan isolasi enzim glukosa oksidase dari fungi inperfekti (genus Penicillium dan Aspergillus) indigenus. [Posiding]. Himpunan Mikrobiologi Indonesia, Bandung, 29 – 30 Agustus 2003.

Pusat Karantina Tumbuhan Badan karantina Pertanian. 2009. Pedoman Pembuatan dan Pengelolaan Koleksi Penyakit Tumbuhan. Departemen Pertanian : Jakarta.

Sari FBP. 2003. Identifikasi dan uji postulat Koch cendawan penyebab penyakit pada ikan gurami. [skipsi] Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor.

Waluyo L. 2005. Mikrobiologi Umum. MM Press : Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar