KULTUR DAN
IDENTIFIKASI CENDAWAN
Oleh:
Ita Apriani
1.1
Latar
Belakang
Perkembangan
kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah
memunculkan pemasalahan berupa penurunan daya dukung kolam atau tambak bagi
kehidupan ikan yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbulkan adalah
terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian yang besar.
Langkah antisipatif melalui penerapan teknologi budidaya dengan berpedoman pada
kaidah keseimbangan ekosistem merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang
lebih serius.
Timbunan bahan
organik, dari sisa pakan, pupuk organik, dan ekskresi ikan atau udang, yang
mengendap di dasar tambak apabila tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan air
yang baik akan memacu penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang,
khususnya algae bloom yang
menyebabkan deplesi oksigen dan keracunan pada ikan. Penggunaan desinfektan dan
antibiotik sebagai langkah pengobatan atas serangkaian wabah penyakit juga
memunculkan masalah baru dalam dunia budidaya. Desinfektan, dengan sifatnya
yang tidak spesifik, terkadang tidak hanya mematikan organisme sasaran.
Perlu diketahui
bahwa antibiotik tidak hanya spesifik bagi pengendalian serangan penyakit
bakteri saja, melainkan juga beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh fungi
dan pengetahuan tentang fungi sangat diperlukan. Khamir juga mempunyai manfaat
yang menguntungkan misalnya, berperan dalam mengatasi masalah penyakit sebagai
penghasil antibiotik dan meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit,
dalam bidang pakan berperan dalam fermentasi pakan yaitu untuk meningkatkan
nilai nutrisi pakan ikan, sedangkan dalam proses bioremediasi berperan
untuk mengatasi masalah lingkungan perairan.
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan untuk mengetahui morfologi fungi
sehingga dapat dimanfaatkan dalam perkembangan kegiatan budidaya perikanan
selanjutnya
1.2
Tujuan
Mempelajari teknik kultur dan
identifikasi cendawan
II.
METODOLOGI
2.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan hari Selasa, tanggal 11 Oktober 2011 pukul 07.00 – 10.00 WIB dan
dilakukan kultur pada hari kamis, tanggal 13 Oktober 2011 pukul 13.00 -14.00
WIB serta dilakuakan pengamatan pada hari Senin, tanggal 17 Oktober 2011 pukul
10.00 – 11.00 WIB di laboratorium lingkungan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat
dan Bahan
Alat
yang digunakan pada praktikum adalah pinset, Bunsen, korek api, botol semprot
alkohol, pisau bedah. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah air kolam
steril, biakan candawan dari telur ikan, alkohol 90%, alkohol 70%, media GYA,
dan media GYA+2% skim milk.
2.3
Prosedur
Kerja
Sebelum
melakukan kultur sebaiknya lingkungan disterilkan terlebih dahulu dengan
menyemprotkan alkohol 70% kemudian dilap dengan tisu. Untuk memulai kultur
cendawan petama cendawan yang ada di telur ikan dicuci dalam air kolam steril
dengan menggunakan pinset sebagai penjepit. Kemudian cawan petri tang berisi
media GYA disiapkan dan bunsen dinyalakan, lalu secara aseptik biakan cendawan
dipindahkan kedalam cawan petri tersebut, untuk mengurangi jumlah air yang ikut
masuk kedalam media, digunakan kertas cakram untuk menguranginya sampai dirasa
cukup dan tidak ada lagi air yang terbawa. Setelah itu, tutup rapat cawan petri
dan biakan cendawan dan diinkubasi pada suhu ruang selama ± 3 hari.
Setelah ± 3 hari cendawan diamati dan dihitung
diameter pertumbuhannya. Kemudian cendawan dibiakan kembali dalam bentuk
potongan-potongan balok pada media GYA+ 2% skim milk untuk menegtahui apakan
cendawan dapat mendegradasi protein dalam media. Hal pertama yang dilakukan
adalah cendawan hasil kultur sebelumnya di potong berbentuk balok, kemudian secara
aseptik balokan yang berisi cendawan di tanam dalam media GYA + 2% skim milk
dan diletakkan secara terbalik. Kemudian ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu
ruang selama ± 3 hari.
Setelah ± 3 hari biakan diamati kembali apakah
membentuk zona bening pada pertumbuhannnya. Jika terbentuk maka di ukur
diameter zona bening tersebut, hal ini menendakan cendawan telah mendegradasi
senyawa protein yang terdapat dalam media.
III.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Data diameter pertumbuhan
cendawan
Kelompok
|
Diamter (cm)
|
Keterangan
Kontam/Tidak
|
1
|
3.83
|
-
|
2
|
3.38
|
-
|
3
|
Tumbuh
|
Terkontaminan
|
4
|
3.1
|
-
|
5
|
3.53
|
Kontaminan
|
6
|
4
|
-
|
7
|
5.97
|
-
|
8
|
4,47
|
-
|
9
|
3.43
|
-
|
10
|
2.13
|
-
|
11
|
3.77
|
-
|
12
|
3.11
|
-
|
Berdasarkan tabel
1 di atas, diameter pertumbuhan cendawan yang paling besar adalah kelompok 7
yaitu 5,97 cm dan diameter pertumbuhan cendawan yang paling kecil adalah
kelompok 10 yaitu 2,13 cm. lain halnya dengan kelompok 3, cendawan tumbuh namun
tidak membentuk diameter pertumbuhan dan terdapat kontaminan, sedangkan
kelompok 5 cendawan tumbuh dengan diameter 3,53 cm namun juga terkontaminan
dengan organisme lain.
Tabel 2. Data diameter zona bening hasil degradasi
enzim protease
Kelompok
|
Diamter (cm)
|
Keterangan
Kontam/Tidak
|
1
|
-
|
Kontaminan
|
2
|
-
|
Kontaminan
|
3
|
-
|
-
|
4
|
-
|
Kontaminan
|
5
|
-
|
Kontaminan
|
6
|
-
|
Kontaminan
|
7
|
-
|
-
|
8
|
-
|
-
|
9
|
-
|
-
|
10
|
0.55
|
-
|
11
|
-
|
Kontaminan
|
12
|
-
|
-
|
Berdasarkan
tabel 2 di atas, cendawan yang membentuk zona bening hasil degradasi enzim
protease adalah kelompok 10 dengan diameter 0,55 cm. sedangkan yang lain
terdapat kontaminan dan tunbuh denagn baik namun tidak membentuk zona bening.
3.2
Pembahasan
Sebelum
benar-benar dilakukan proses kultur mikroorganisme, pertama kali kita harus
mempertimbangkan bagaimana agar tidak tejadi kontaminasi. Mikroorganisme ada
dimana-mana, karena ukurannya yang sangat kecil maka mudah lepas dalam udara.
Maka dari itu, medium kultur harus disterilkan secepatnya setelah preparasi
selama pemindahan mikroorganisme. Hal ini untuk pencegahan sampai tahap
selanjutnya, demikian juga benda yang akan kontak lansung dengan media harus
terjaga kesterilanya (Waluyo 2005).
Tujuan utama
pembuatan kultur cendawan adalah mempertahankan daya tumbuh/viabilitasnya
dalam jangka waktu tertentu tanpa mengalami perubahan secara morfologi, fisiologi maupun secara genetik. Dengan demikian, kultur harus
dijaga agar tetap hidup selama
dilakukan kajian, bahkan kadang-kadang harus dipertahankan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Mempertahankan biakan dalam waktu lama menjadi
penting terutama jika biakan tersebut berasal dari type spesimen atau type material
serta sudah terdaftar di dalam publikasi. Jika tidak tersedia kultur yang sudah diidentifikasi maka sangat mustahil
untuk melakukan perbandingan taksonomi.
Perbandingan taksonomi diperlukan dalam penentuan klasifikasi dan pemberian nama bagi takson yang baru.
Menurut Pusat Karantina Tumbuhan Badan Karantina Pertanian (2009) Berikut ini beberapa contoh metode dalam mempertahankan viabilitas kultur.
Teknik yang
bisa digunakan untuk menumbuhkan cendawan adalah dengan
menggunakan medium agar. Biakan biasanya ditumbuhkan di dalam botol McCartney volume 20 ml.
Sebaiknya digunakan botol yang
memiliki leher agak lebar sehingga akan memudahkan pada
saat dilakukan pembiakan ulang (sub culturing). Medium tumbuh
seperti PDA sangat sesuai untuk
berbagai jenis cendawan.
Beberapa jenis cendawan tertentu
mungkin menghendaki medium khusus untuk pertumbuhannya. Medium tumbuh
dipersiapkan dengan cara menuang campuran bahan ke dalam botol
sebanyak kira-kira setengah bagian volume botol, selanjutnya disterilisasi.
Medium
kemudian didinginkan dan botol diletakkan pada posisi miring sehingga pada
saat
membeku terbentuk permukaan medium yang lebih luas.
Pada saat inokulasi cendawan, inokulum diletakkan pada permukaan
medium, yaitu di bagian sudut bawah. Setelah diinkubasi biakan harus
disimpan didalam tempat yang kondisinya dingin dan bersih. Biakan disimpan di
dalam lemari pendingin pada suhu
5-8ºC. Cendawan yang sensitif
terhadap suhu dingin dapat disimpan
pada suhu 15 ºC. Biakan sebaiknya diperiksa secara regular
karena medium agar akan cepat kering jika disimpan di tempat yang udaranya
kering.
Kewaspadaan juga diperlukan dalam mempertahankan biakan cendawan, karena beberapa jenis Arthropoda seperti tungau seringkali masuk ke dalam botol
dan
merusak biakan. Oleh sebab itu, sebaiknya botol ditutup rapat dengan
plastik film. Sebaiknya viabilitas
biakan dipertahankan dengan menumbuhkan ulang (re-culturing)
pada medium yang baru setiap enam bulan. Namun perlu diingat bahwa re-culturing
bisa mempercepat terjadinya perubahan morfologi, menurunkan patogenisitas
dan
mengurangi kemampuan menghasilkan spora.
Selain
media agar teknik kultur lain yang dapat dilakukan adalah menyimpan didalam air. Potongan agar blok yang berisi biakan cendawan (berumur satu minggu)
dimasukan ke dalam Wheaton vial
5 ml atau botol McCartney 20 ml kemudian direndam dengan
air destilasi steril. Selanjutnya
botol ditutup rapat dan disimpan pada suhu ruangan.
Metode ini dapat digunakan untuk menyimpan biakan cendawan hingga beberapa
tahun. Cara penyimpanan seperti ini sangat sesuai untuk cendawan Pythium
spp. Dan Phytophthora spp.
Teknik
ini juga dapat digunakan yaitu menyimpan pada kondisi kering-beku. Spesimen kering-beku diperoleh melalui metode sublimasi, yaitu membuang
kandungan air pada spesimen beku. Pada proses ini cairan beku di dalam
biakan
dirubah menjadi gas tanpa melalui fase cair. Proses ini berlangsung pada
tekanan
udara rendah. Gelas ampul
atau vial yang berisi spesimen kering selanjutnya ditutup rapat. Metode ini sangat sesuai
untuk cendawan-cendawan yang manghasilkan spora. Dengan cara ini, viabilitas dapat dijaga hingga 10 tahun atau lebih. Salah
satu
keunggulan cara ini adalah biakan tidak perlu disimpan di dalam lemari
pendingin setelah diproses,
cukup disimpan pada suhu ruangan. Kelemahannya adalah
dibutuhkan peralatan yang mahal dan tenaga berpengalaman. Perlu diingat
bahwa
setelah proses sublimasi selesai dilakukan, sebaiknya setiap biakan harus
diuji
viabilitasnya, karena tidak semua jenis cendawan dapat bertahan hidup
melalui proses demikian.
Viabilitas
bakteri dan cendawan dapat dipertahankan dengan menyimpannya di dalam
silica gel. Disyaratkan untuk
menggunakan silica gel murni/tanpa bahan tambahan.
Viabilitas dapat dipertahankan dengan cara menuang larutan bakteri atau
sebanyak
5% (berat/volume) campuran spora di dalam skim milk ke atas silica gel steril
di dalam
botol. Setelah larutan spora cendawan dituangkan maka botol ditutup
rapat kemudian disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4-6 ºC. Dengan
cara
tersebut viabilitas dapat bertahan hingga 11 tahun. Jika ingin mengetahui
daya
tumbuh cendawan, sebarkan sejumlah kecil silica gel di atas medium
agar (yang sesuai) untuk menumbuhkan cendawan bersangkutan.
Cendawan ada yang hidup sebagai
parasit, ada pula yang bersifat saprofit. Selain itu, ada pula yang
bersimbiosis dengan organism lain secara mutualisme. Sebagai parasit, cendawan
mengambil makanannya langsung dari inangnya. Cendawan jenis ini memiliki
haustorium, yaitu hifa khusus untuk menyerap makanan langsung dari inangnya.
Sebagai saprofit, cendawan mengambil makanan dari sisa-sisa organism lain yang
telah mati (Admin 2008).
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah dilakukan, diameter pertumbuhan cendawan yang
paling besar adalah kelompok 7 yaitu 5,97 cm, dan diameter pertumbuhan cendawan
yang paling kecil adalah kelompok 10 yaitu 2,13 cm hal ini berarti cendawan
yang hidup dalam media dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat dalam media untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Lain halnya dengan kelompok 3, cendawan tumbuh
namun tidak membentuk diameter dan terdapat kontaminan, dan kelompok 5 cendawan
tumbuh dengan diameter 3,53 cm dan terkontaminan, hal ini berarti cendawan yang
tumbuh tersebut dapat memanfaatkan nutrisi yang ada dalam media namun tidak mampu
berkembang biak dengan baik sehingga tidak dapat membentuk diameter
pertumbuhan, selain itu diduga terjadi persaingan nutrisi antara cendawan dan
organism kontaminan.
Berdasarkan
tabel 2 cendawan yang membentuk zona bening hasil degradasi enzim protease
adalah kelompok 10 dengan diameter 0,55 cm. sedangkan yang lain terdapat
kontaminan dan tumbuh dengan baik namun tidak membentuk zona bening. Hal ini
berarti cendawan yang tumbuh pada media kelompok 10 memiliki enzim pretease
sehingga dapat mendegradasi senyawa protein yang terdapat dalam media untuk
menunjang kelangsungan hidupnya.
Cendawan saprofit menghasilkan bermacam-macam enzim ekstraseluler yang bisa mendegradasi kebanyakan makromolekul alam. Kebanyakan cendawan saprofit berperan sebagai
dekomposer yang penting dalam siklus biogeokimia. Cendawan berperan sebagai organisme awal
yang mendegradasi kayu. Hal ini disebabkan, dengan eksepsi dari sedikit bakteri hanya cendawan yang mampu memecah lignin. Lignin mengisi ± 25% dari materia yang terdapat di hutan. Selain itu cendawan juga mencerna material hewan mati. Selain itu, cendawan khususnya
genus Penicillium dan Aspergillus dapat memproduksi enzim
glukosa aksidase. Enzim ini banyak digunakan dalam industri pangan dan analisis
klinis untuk menentukan kadar glukosa darah (Aryantha 2003).
Duddingtonia flagrans adalah
termasuk golongan kapang sedangkan Saccharomyces
cerevisiae adalah khamir. Kemampuan berkembang biak S. cerevisiae lebih besar dan cepat dibandingkan dengan kapang D. flagrans. Demikian pula dengan
produksi enzim-enzim yang dihasilkan oleh S.
cerevisiae lebih banyak dibandingkan
produksi D. flagrans selain kitinase
dan protease yaitu katalase, glukanse, glukosidase, glukoamilase, fosfolipase,
namun kapang D. flagrans lebih mampu bertahan hidup di alam karena
mempunyai klamidospora sehingga dapat bertahan sampai berbulan-bulan dari
kekeringan (Ahmad 2007).
Budidaya ikan gurami (Oshpronemus
gouramy) telah dikembangkan secara intensif, yaitu dengan tingginya padat
penebaran dalam volume terbatas. Apabila tidak dikontrol secara benar akan
menimbulkan resiko berupa munculnya penyakit, yang salah satunya disebabkan
oleh cendawan. Berdasarkan hasil penelitian Sari (2003) melalui idetifikasi
ditemukan jenis cendawan, yaitu Saprolegnia
sp. yang diisolasi dari telur gurami.
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Cendawan
ada yang hidup sebagai parasit, ada pula yang bersifat saprofit. Selain itu,
ada pula yang bersimbiosis dengan organism lain secara mutualisme. Untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya cendawan memerlukan enzim untuk memecah
senyawa-senyawa penting untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti protein,
lemak, karbohidrat, dll. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh
kesimpulan bahwa cendawan pada isolat kelompok 10 memiliki enzim protease
sehingga dapat mendegradasi protein dan membentuk zona bening dengan diameter
0,55 cm.
4.2
Saran
Praktikum
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan
isolat cendawan dari sumber lain seperti cendawan yang menyerang sirip,
tubuh, dan operculum ikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Admin.
2008. Mengenal jamur (fungi). Erlangga : Jakarta.
Ahmad
RZ. 2007. Aktivitas enzim kitinase dan protease pada cendawan nematofagus ( Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae ) Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007.
Aryantha.
2003. Eksplorasi dan isolasi enzim glukosa oksidase dari fungi inperfekti
(genus Penicillium dan Aspergillus) indigenus. [Posiding].
Himpunan Mikrobiologi Indonesia, Bandung, 29 – 30 Agustus 2003.
Pusat
Karantina Tumbuhan Badan karantina Pertanian. 2009. Pedoman Pembuatan dan
Pengelolaan Koleksi Penyakit Tumbuhan. Departemen Pertanian : Jakarta.
Sari
FBP. 2003. Identifikasi dan uji postulat Koch cendawan penyebab penyakit pada
ikan gurami. [skipsi] Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian
Bogor.
Waluyo
L. 2005. Mikrobiologi Umum. MM Press
: Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar