Laporan Praktikum ke-5 Hari/ tanggal : Selasa/ 15 November 2011
m.k Penyakit Organisme Akuatik Kelompok :
III
Asisten : Siti Khodijjah
damayanti
Dwi Febriyanti
Fariq Azhar
Ghita Ryan S.
Nurlita Annisa Sari
Rahman
Ridha Nugraha
Ririn Nurul F.
Shavika Miranti
Trian Rizki
Deteksi Cepat
Vibriosis (dengan target : gen penyandi 16s-rRNA) dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Oleh:
Ita Apriani
C14090019
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kegiatan
perikanan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian yaitu perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Perikanan budidaya memiliki beberapa daerah bagian terdasarkan kadar
salinitas, diantaranya budidaya air tawar, budidaya air laut dan budidaya air
payau/tambak. Komoditas yang dapat dibudidayakan dalam tambak adalah jenis kekerangan,
rumput laut, bandeng dan udang. Jenis udang yang populer dibudidayakan adalah
udang vanamei (Leptopanaeus vanamei)
dan udang windu (Panaeus monodon).
Industri
budidaya udang tidak selamanya berjalan lancar, beberapa faktor yang menjadi
kendala dalam budidaya udang yaitu, lingkungan, pakan dan penyakit. Penyakit
yang timbul dapat disebabkan oleh virus, parasit, jamur, dan bakteri. Bakteri
patogen yang dapat menyebabkan penyakit salah satunya adalah spesies Vibrio
berpendar seperti Vibrio cholera, V.
fischeri, V. harveyi, V. logei, V. splendidus dan V. mediterranei.
Udang
yang terserang penyakit dapat dideteksi melalui pengamatan langsung dari gejala
klinis yang muncul dan dapat juga melalui analisa laboratorium. Pendeteksian
melalui analisa laboratorium dapat dilakukan dengan cara isolasi dan
identifikasi, namun untuk memperoleh hasil secara cepat dapat menggunakan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
Diagnosa penyakit dengan metode PCR memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap
sensitivitas, spesifitas, kecepatan deteksi, serta kesederhanaan dalam proses
pengerjaan. Namun, metode ini memerlukan peralatan modern dan bahan
(reagen-reagen) yang cukup mahal, sehingga keterampilan dari operator harus
dilatih supaya menghemat bahan, terampil dalam menggunakan peralatan serta
menghemat waktu dalam proses pengerjaannya. Oleh karena itu, dilakukan
praktikum ini untuk melatih kertampilan mahasiswa dalam mendeteksi penyakit
vibriosis dengan menggunakan metode PCR.
1.2
Tujuan
Mempelajari
cara penggunaan alat mikropipet dan sentrifuse, teknik dan isolasi DNA, cara
bekerja secara aseptis biokimia, cara bekerja supaya tidak menimbulkan
kontaminasi silang, proses preparasi dengan teknik PCR, cara setting alat PCR, cara pembuatan dan
preparasi gel agarosa, cara setting peralatan elektroforesis, cara loading sampel, dan cara pengambilan
gambar gel agarosa, serta memahami prinsip mobilisasi (pergerakan) DNA dalam
elektroforesis.
II.
METODOLOGI
2.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 1 November 2011 dilakukan ekstraksi
DNA di R. Gam pada pukul 07.00 – 10.00 WIB. Sedangkan pada tanggal 8 November
2011 dilakuakan penggandaan (amplifikasi) DNA dengan PCR dan deteksi hasil
amplifikasi dengan metode elektroforesis gel agarosa di R.Gam dan laboratorium
PBI, Departemen Budidaya Perairan, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat
dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum adalah mikropipet, tabung eppendorf, vortex,
sentrifuse, tabung PCR, alat PCR (thermo cycler), sumber listrik, power suplay , bak elektroforesis,
peralatan untuk mencetak gel, perangkat untuk visualisasi gel (UV
transiluminator dan kamera). Sedangkan bahan yang digunakan adalah 50 mg sampel
kaki renang dan insang udang, buffer TE, buffer lisis, proteinase-K, SDS, enzim
RNAse, PCIA (phenol chloroform isoamyl alcohol), ethanol absolute, ddH20,
primer F, primer R, dNTP, buffer, taqpol, MgCl2, buffer elektroforesis, marker
DNA, marker DNA, serbuk agarose, dan larutan 1xTBE.
2.3
Prosedur
Kerja
2.3.1
Ekstraksi
DNA
Kaki
renang dan insang udang dipotong, kemudian dimasukan dalam tabung eppendorf dan
digerus sampai hancur. Kemudian ditambahkan 250 buffer TE, 500 µl buffer lysis,
20 µl proteinase-K, dan 40 µl SDS 10%. Lalu diinkubasi pada suhu 55oC
selama 1-3 jam. Kemudian ditambahkan 12,5 µl RNAse dan simpan pada suhu ruang
selama 15-30 menit. Setelah itu, ditambahkan phenol : chloroform : isoamyl
alcohol (PCIA 25 : 24 : 1) kemudian divortex secara perlahan sampai homogen,
lalu disimpan pada suhu ruang selama 10 menit. Setelah itu disentrifuse dengan
kecepatan 13.00 rpm selama 8 menit. Kemudian diambil lapisan paling atas dan
dipidahkan ke tabung eppendorf yang baru. Kemudian ditambahkan 100 µl
chloroform isoamyl alcohol (CIA), dan disentrifuse dengan kecepatan 13.000 rpm
selama 4 menit. Sebanyak 50 µl lapisan paling atas diambil dan dipindahkan ke
tabung eppendorf baru, kemudian ditambahkan 100 µl ethanol absolute dingin dan
dicampur sampai homogen. Langkah selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 6000
rpm selama 30 menit. Kemudian cairan dibuang dan pellet DNA dicuci dengan 1 ml
etanol 70%, lalu disentrifuse lagi dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit,
tahap terakhir pellet DNA dikeringanginkan dan ditambah 100 µl buffer TE dan
disimpan pada suhu -20oC.
2.3.2
Penggandaan
(amplifikasi) DNA dengan PCR
Pada
tahap amplifikasi ini terlebih dahulu dibuat master mix (MM) yang terdiri dari campuran 181,2 µl ddH2O,
12 µl primer F, 12 µl primer R, 30 µl dNTP, 30 µ buffer, 2,4 µl taqpol, dan 24
µl MgCl2. Kemudian disiapkan 12 buah tabung PCR dan diberi kode, lalu
didistribusikan MM ke dalam tabung tersebut dengan volume masing-masing 24,5
µl/tabung. Tahap akhit teplete dimasukan yaitu ekstrak DNA ke dalam
masing-masing tabung PCR sebanyak 0,5 µl. lalu tabung eppendorf dimasukan
kedalam mesin PCR dan diatur program sesuai suhu reaksi untuk primer 16s-rRNA
yang terdiri dari beberapa tahap yaitu predenaturasi pada suhu 94oC
selama 2 menit 20 detik, tahap denaturasi pada suhu 94 oC selama 15
detik, tahap annealing pada suhu 50 oC selama 30 detik, tahap
ekstensi pada suhu 72 oC selama 1 menit 30 detik, tahap final
ekstensi 72 oC selama 10 menit dan finishing pada suhu 10 oC
selama 10 menit.
2.3.3
Elektroforesis
Sebelum
elektroforesis, terlebih dahulu dibuat gel agarosa. Gel agarosa dibuat dengan
cara serbuk agarosa dilarutkan dalam 1xTBE kemudian dipanaskan dalam microwave / hot plate selama 1,5 menit atau larutan sampai mendidih dan menjadi
bening. Larutan dibiarkan sampai hangat, kemudian larutan dituangkan kedalam
cetakan yang dilengkapi sisir/ comb sebagai
cetakan sumur. Gel dibiarkan membeku, kemudian dimasukan ke dalam bak
elektroforesis yan telah berisi larutan buffer elektroforesis (1xTBE atau
1xTAE). Pada tahap elektroforesis, sejumlah sampel DNA yang akan di cek
dicampur dengan 2-5 µl loading dye yang
mengandung bahan pemberat DNA dan pewarna (Bromphenol blue, xylene cytol,
glycerol, EDTA). Kemudian campuran tersebt dimasukan ke dalam sumur-sumur
elektroforesis dan 1 sumur disiapkan untuk marker DNA. Bak elektroforesis
ditutup dan listrik dialirkan dengan tegangan 250 volt dan kuat arus 80 – 100
mA. Setelah DNA bermigrasi dari kutub negative ke kutub positif mencapai ¾ bagian
dari panjang gel, maka proses elektroforesis dapat dihentikan. Kemudian gel
diangkat dari bak elektroforesis dan dilepaskan dari cetakan untuk selanjutnya
diamati dengan menggunakan ultraviolet transluminator dengan panjang gelombang
pendek 280 nm.
III.
PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakuakn diperoleh hasil sebagai berikut :
Gambar 1.
3.2
Pembahasan
enyakit vibriosis
disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio Sp. Vibrio harveyi adalah spesies bakteri penyebab penyakit kunang-kunang (luminescent vibriosis) pada larva udang windu (Penaeus monodon Fabr)[1,2]. Udang windu pada fase zoea
paling rentan terhadap serangan bakteri V. Harveyi.
-
Karakteristik
Beberapa karakteristik dari bakteri ini yaitu, dua
kelompok bakteri penyebab penyakitserius pada tahap berbeda dari pertumbuhan
budidaya udang yang mencakup Leucothrix spdan beberapa jenis Vibrio
(Lavilla-Pitogo, 1995). Bakteri Vibrio adalah salah satu dari
faktor pathogenic, yang menyebabkan kematian tinggi antar jenis dari
udang dan ikan laut yangdibudidaya di Thailand (Ruangpan dan Kitao, 1991).
Vibriosis, penyakit yang menyebabkankerugian
serius pada usaha pembenihan udang. Larval udang sangat sensitif pada Vibrioharveyi, yang menyebabkan gejala luminescent dari
penyakit bakterial (Lavilla-Pitogo et al.1990). Penyakit ini diketahui sebagai
masalah utama di Phillipines, menyebabkan hilangnya juvenil udang di beberapa hatcheries (Lavilla-Pitogo et al.
1992). Pada beberapa tahunterakhir,
penyakit udang yang ditemukan di Vietnam yaitu vibriosis telah menyerang
padalarva dan broodstock udang (Tho dan Khang, 1990). Secara umum, penyakit
bacterial udang belum banyak diteliti secara mendalam di Vietnam. Sebanyak
50 jenis yang diisolasi, terdiridari Vibrio spp yang bersifat gram negatif,
oxidase-positive, glucose-fermenting dan berkembangbiak pada Medium Vibrio
seperti TCBS agar. Vibrios yang diisolasi dari kulitartemia yang dibudidayakan
yang sakit dan sehat dari larva
udang air tawar (M. rosenbergii).
-
Gejala klinis
Tanda vibriosis adalah serupa pada banyak penyakit
bakterial ikan lainnya. Gejalaumumnya dimulai dengan kelesuan dan hilangnya
selera makan. Penyakit vibriosis jugaditandai dengan kulit menjadi buram (discolored),
merah dan necrotic (mati), sakit sepertimelepuh dapat terlihat pada permukaan
tubuh, adakalanya pecah pada permukaan kulitmenghasilkan luka terbuka.
Bintik-bintik darah (Erythema) umum terjadi di sekitar sirip danmulut. Ketika
penyakit menjadi systemic, dapat menyebabkan exopthalmia ("pop-eye"),
dansaluran usus dan dubur menjadi berdarah dan terisi dengan cairan. semua
gejala ini dapatdisebabkan oleh penyakit bakterial lainnya, dan bukan hanya
oleh Infeksi Vibrio. (Reed P. Aand Floyd
R.F., 1994)
-
Diagnose
Infeksi Vibrio dicurigai merupakan riwayat penyakit
ikan tertentu yang diberi tandaklinis, sesuai dengan hasil diagnosa tetapi
tetap diperlukan isoalasi bakteri danidentifikasinya. Jika tidak, ikan sakit
harus dikirimkan ke laboratorium diagnostik penyakitikan untuk
mengkonfirmasikan infeksi tersebut, mengidentifikasi jenis Vibrio,
danmelaksanakan perlakuan sensifitas zat antibiotik.Untuk mengindentifikasi
jenis vibrio yang menyerang maka bakteri yang diisolasitersebut dilakukan kultur, Vibrio spp menyukai darah yang dilengkapi
dengan 3% garam,media diperkaya dengan agar trypticase kedelai dengan 5%
ovine darah cukup untuk awalisolasi. Vibrio spp. dapat dibedakan dari bakteri
berhubungan erat oleh kepekaan spesifiknyaterhadap Novobiocin 0/129 dan, dua
agen vibriostatic tersedia. Di samping itu, yang unik adalah
"comma-shape" (bentuk koma) dari bakteri Vibrio, pengujian
mikroskopik dari jaringan yang terinfeksi tidak bisa menggunakan tempat
kultur dan teknik isolasi. (Reed P. Aand Floyd R.F., 1994)
-
PCR
Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR
(Polimerase Chain Reaction) dlm satu siklus:
1. Tahap peleburan/melting/denaturasi PCR (Polimerase Chain Reaction). Tahap ini b’langsung pd suhu tinggi, 94–96°C, ikatan hidrogen DNA t’putus (denaturasi) & DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pd tahap awal PCR (Polimerase Chain Reaction), tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) utk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tdk stabil & siap menjadi templat (“patokan”) bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan/annealing PCR (Polimerase Chain Reaction). Primer menempel pd bagian DNA templat yg komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pd suhu antara 45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yg tdk tepat menyebabkan tdk terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan/elongasi PCR (Polimerase Chain Reaction). Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase (P pada gambar) yg dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
1. Tahap peleburan/melting/denaturasi PCR (Polimerase Chain Reaction). Tahap ini b’langsung pd suhu tinggi, 94–96°C, ikatan hidrogen DNA t’putus (denaturasi) & DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pd tahap awal PCR (Polimerase Chain Reaction), tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) utk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tdk stabil & siap menjadi templat (“patokan”) bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan/annealing PCR (Polimerase Chain Reaction). Primer menempel pd bagian DNA templat yg komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pd suhu antara 45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yg tdk tepat menyebabkan tdk terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan/elongasi PCR (Polimerase Chain Reaction). Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase (P pada gambar) yg dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
http://www.artikelkimia.info/tahapan-proses-pcr-polimerase-chain-reaction-29000220092011
(tahap PCR)
-
PCR (Polymerase Chain Reaction)
merupakan suatu teknik perbanyakan (amplifikasi) potongan DNA secara in vitro
pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Primer
yang digunakan sebagai pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai
tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA templatnya. Proses tersebut mirip
dengan proses replikasi DNA secara in vivo yang bersifat semi konservatif.
PCR memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada proses PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan (templat) yang mengandung DNA-target (yang akan di amplifikasi) untuk pembentukan molekul DNA baru, enzim DNA polimerase, deoksinukleosida trifosfat (dNTP), dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer tersebut akan menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua primer menempel pada DNA templat, DNA polimerase mengkatalisis proses pemanjangan kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan nukleotida templat. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi polimerisasi. Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA templat.
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat, penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase.
PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Secara ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi enzim taq polymerase. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai sering kali dilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit, untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi.
1.2. Tahapan PCR
Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.
Penempelan primer
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50oC – 60oC. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72 oC.
Reaksi polimerisasi (extension)
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan templat oleh DNA polimerase.
Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh dua primer akan di amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang berupa untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat dirumuskan dengan (2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah jumlah awal molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial. PCR dengan menggunakan enzim Taq DNA polimerase pada akhir dari setiap siklus akan menyebabkan penambahan satu nukleotida A pada ujung 3’ dari potongan DNA yang dihasilkan. Sehingga nantinya produk PCR ini dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang ditambahkan nukleotida T pada ujung-ujung 5’-nya. Proses PCR dilakukan menggunakan suatu alat yang disebut thermocycler.
PCR memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada proses PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan (templat) yang mengandung DNA-target (yang akan di amplifikasi) untuk pembentukan molekul DNA baru, enzim DNA polimerase, deoksinukleosida trifosfat (dNTP), dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer tersebut akan menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua primer menempel pada DNA templat, DNA polimerase mengkatalisis proses pemanjangan kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan nukleotida templat. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi polimerisasi. Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA templat.
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat, penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase.
PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Secara ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi enzim taq polymerase. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai sering kali dilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit, untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi.
1.2. Tahapan PCR
Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.
Penempelan primer
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50oC – 60oC. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72 oC.
Reaksi polimerisasi (extension)
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan templat oleh DNA polimerase.
Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh dua primer akan di amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang berupa untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat dirumuskan dengan (2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah jumlah awal molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial. PCR dengan menggunakan enzim Taq DNA polimerase pada akhir dari setiap siklus akan menyebabkan penambahan satu nukleotida A pada ujung 3’ dari potongan DNA yang dihasilkan. Sehingga nantinya produk PCR ini dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang ditambahkan nukleotida T pada ujung-ujung 5’-nya. Proses PCR dilakukan menggunakan suatu alat yang disebut thermocycler.
http://id.shvoong.com/exact-sciences/bioengineering-and-biotechnology/2040144-polymerase-chain-reaction-pcr/ (Polymerase CHAIN REACTION (PCR) 2010.
Isolasi Plasmid, Quantifikasi DNA dan Analisis Kualitatif, Elektroforesis
June 19th, 2010 | Author: sril07
Escharichia coli merupakan salah satu contoh bakteri yang digunakan
pada percobaan isolasi plasmid ini. Bakteri ini sering digunakan dalam
transformasi gen dan lebih dikenal dengan istilah kloning gen. Selain dalam
bakteri, plasmid juga terdapat dalam Saccharomyces cerevisiae. Dalam
teknik rekayasa genetika, plasmid biasanya digunakan sebagai vektor untuk kloning.
Plasmid dapat dipindahkan antar sel bakteri dengan cara konjugasi atau
transformasi. Dalam hal ini, plasmid digunakan sebagai pembawa fragmen DNA
asing. Dengan kata lain, plasmid dikombinasikan dengan DNA asing sehingga untuk
mengetahuinya dilakukan beberapa percobaan.Pada saat percobaan terdapat beberapa larutan yang dipakai untuk mengisolasi plasmid sampai elektroforesis. Proses isolasi plasmid, endapan bakteri disuspensi menggunakan larutan EDTA. Hal ini disebabkan larutan EDTA berfungsi sebagai larutan buffer dan sebagai pengkelat yang dapat mengikat ikatan kation sehingga dapat menurunkan tegangan. Endapan yang telah tersuspensi diberi larutan NaOH dan SDS. Tujuan pemberian larutan ini untuk melisiskan bakteri dan menaikkan pHnya. Setelah lisis bakteri diberi larutan sodium asetat yang berfungsi untuk menetralisasi serta menurunkan pH. Selain ketiga larutan tersebut, cairan DNA plasmid diekstrak dengan larutan PCI (Fenol/Kloroform/Isoamil alcohol) dan diberi etanol 70% untuk menghilangkan kandungan garamnya. Pada proses elektroforesis, DNA yang akan dimigrasikan dicampur dengan larutan loading dye dan blue bromophenol. Hal ini untuk menandai laju migrasi DNA dan sebagai larutan pewarna.
Ukuran DNA dapat dilihat dari jarak pita yang muncul pada sumur ketika dielektroforesis. Kerusakan DNA ditandai oleh pita smear pada hasil elektroforesis. Tidak dapatnya DNA dipotong dengan enzim restriksi terlihat dari terbentuk tidaknya pita smear hasil elektroforesis setelah DNA dipotong dengan enzim restriksi EcoRI. EcoRI menghasilkan pita DNA smear ketika dielektroforesis karena enzim ini termasuk ke dalam frequent cutter (Vos et al. 1995). Hasil percobaan kelompok 3 dan kelompok 9 menunjukkan bahwa hasil pemotong DNA nya tidak berhasil karena pita DNA hasil elektriforesis tidak terbentuk. Berdasarkan teori diatas, hal ini terjadi karena DNA tidak dapat dipotong dengan enzim restriksi EcoRI. Pada kelomok 6, pita DNA yang terbentuk tampak tidak jelas dan membentuk suatu garis vertikal yang berpendar. Hal ini kemungkinan cairan DNA yang akan dielektroforesis kotor sehingga pada saat migrasi kotorannya ikut masuk dan membentuk garis vertikal. Sedangkan pita DNA kelompok lainnya menunjukkan hasil yang baik.
Untuk melihat uji kualitas DNA genom dapat dilihat dari besarnya ukuran pita yang ditandai dengan terlihatnya pita yang menyala terang hasil elektroforesis. Dari hasil gambar terlihat pita yang menyala terang dan berukuran besar ditunjukkan oleh kelompok 8, sedangkan pita pada kelompok lain menghasilkan gambar yang sama. Pada hasil uji analisis kuantitas dan kualitas DNA dengan menggunakan spektrofotometer menunjukkan bahwa kemurnian DNA tidak mencapai hingga 100%. Hal ini karena rasio A260/A280 berkisar berkisar 1.10-1.18, sedangkan menurut literatur yang diperoleh kemurnaian DNA akan tercapai 100% bila rasio A260/A280 berkisar 1.8-2.0 (Sambrook et al. 1989). Dengan demikian kemurnain DNA hasil percobaan ini dapat dikatakan tidak berhasil karena kisaran kemurnian DNA yang dihasilkan tidak memenuhi syarat, yaitu berkisar 1.10-1.18.
Visualisasi elektroforesis pada tingkat konsentrasi dapat dilihat dari tebal tidaknya pita yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi DNA, maka semakin tebal pita yang dihasilkan, dan semakin rendah konsentrasi DNA akan semakin tipis pita yang terbentuk. Hasil percobaan menunjukkan, nilai konsentrasi DNA yang paling tinggi terdapat pada kelompok 1 sebesar 19800 ng/ μl. Namun dengan demikian, hasil percobaan ini dapat dikatakan berhasil karena pita DNA yang terbentuk mencapai 75%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar